A. PRASANGKA
Prasangka berarti
membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek
tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum
memilikiinformasi yang
relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut.
Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya
sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan
rasional.
John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam
tiga kategori.
· Prasangka kognitif, merujuk pada apa
yang dianggap benar.
· Prasangka afektif, merujuk pada apa
yang disukai dan tidak disukai.
· Prasangka konatif, merujuk pada
bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak.
B. DISKRIMINASI
Diskriminasi merujuk kepada
pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu,
di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh
individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai
dalam masyarakat manusia,
ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena
karakteristik suku, antar golongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran
politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari
tindakan diskriminasi
Diskriminasi langsung, terjadi
saat hukum,
peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu,
seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang
yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat
peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan.
Diskriminasi di tempat kerja
Diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai macam
bentuk:
·
dari struktur gaji,
·
cara penerimaan karyawan,
·
strategi yang diterapkan dalam kenaikan jabatan, atau
·
kondisi kerja secara umum yang bersifat diskriminatif.
Diskriminasi di tempat kerja berarti
mencegah seseorang memenuhi aspirasi profesional dan
pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang dimilikinya.
Teori statistik diskriminasi berdasar pada pendapat bahwa perusahaan tidak
dapat mengontrol produktivitas pekerja secara individual. Alhasil, pengusaha
cenderung menyandarkan diri pada karakteristik-karakteristik kasat mata,
seperti ras atau jenis kelamin, sebagai indikator produktivitas, seringkali
diasumsikan anggota dari kelompok tertentu memiliki tingkat produktivitas lebih
rendah.
PERBEDAAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
Sikap yang negatif terhadap sesuatu, disebut
Prasangka. Walaupun dapat kita garis bawahi prasangka dapat juga dalam
pengertian positif. Prasangka bersumber dari suatu sikap. Diskriminasi menunjuk
kepada suatu tindakan. Dalam pergaulan sehari-hari sikap berprasangka dan
diskriminasi seolah-olah menyatu dan tidak dapat dipisahkan.
Seseorang yang mempunyai prasangka rasial biasanya
bertindak diskriminasi terhadap yang diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa
saja seseorang bertindak diskriminatif tanpa latar belakang pada suatu
prasangka. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang berprasangka dapat saja
berperilaku tidak diskriminatif.
Sikap berprasangka jelas tidak adil, sebab sikap yang
diambil hanya berdasarkan pada pengalaman atau aoa yang didengar. Lebih-lebih
lagi bila sikap berprasangka itu muncul dari jalan fikiran sepintas, untuk
kemudian disimpulkan dan dibuat pukul rata sebagai sifat dari seluruh anggota
kelompok sosial tertentu.
Sebab - sebab timbulnya prasangka dan diskriminasi,
yaitu :
a. Berlatar belakang sejarah
b. Dilatarbelakangi oleh perkembangan sosial -
kultural dan situasional
c. Bersumber dari faktor kepribadian
d. Berlatar belakang dari perbedaan keyakinan,
kepercayaan dan agama
Daya atau upaya untuk mengurangi / menghilangkan
prasangka dan diskriminasi, yaitu :
a. Perbaikan kondisi sosial ekonomi
b. Perluasan kesempatan belajar
c. Sikap terbuka dan sikap lapang
C. ETNOSENTRISME
Etnosentrisme adalah sikap yang menggunakan pandangan
dan cara hidup dari sudut pandangnya sebagai tolok ukur untuk menilai kelompok
lain.
Apabila tidak dikelola dengan baik, perbedaan budaya
dan adat istiadat antarkelompok masyarakat tersebut akan menimbulkan konflik
sosial akibat adanya sikap etnosentrisme. Sikap tersebut timbul karena adanya
anggapan suatu kelompok masyarakat bahwa mereka memiliki pandangan hidup dan
sistem nilai yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.
Setiap suku bangsa atau ras tertentu akan memiliki
ciri khas kebudayan, yang sekaligus menjadi suatu kebanggaan mereka. Suku
bangsa, ras tersebut dalam kehidupan sehari-hari bertingkah laku sejalan dengan
norma - norma, nilai - nilai yang terkandung dan tersirat dalam kebudayan
tersebut.
Etnosentrisme ialah suatu kecendrungan yang menganggap
nilai - nilai dan norma - norma kebudayaannya sendiri dengan suatu yang prima,
terbaik, mutlak dan dipergunakannya sebagai tolak ukur untuk menilai dan
membedakannya dengan kebudayaan lain.
Etnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang
universal dan sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar. Dengan
demikian etnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk
menginterprestasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak ukur kebudayaannya
sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung,
tidak luwes. Akibatnya etnosentrisme penampilan yang etnosentrik, dapat menjadi
penyebab utama kesalah pahaman dalam berkomunikasi. Etnosentrisme dapat
dianggap sebagai sikap dasar ideologi Chauvinisme pernah dianut oleh orang -
orang German pada jaman Nazi Hitler. Mereka merasa dirinya superior, lebih
unggul dari bangsa - bangsa lain dan memandang bangsa - bangsa lain sebagai
inferior, lebih rendah, nista dan sebagainya.
Contoh Etnosentrisme di Indonesia
:
Salah satu contoh etnosentrisme di Indonesia adalah
perilaku carok dalam masyarakat Madura. Menurut Latief Wiyata, carok adalah
tindakan atau upaya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang laki-laki apabila
harga dirinya merasa terusik. Secara sepintas, konsep carok dianggap sebagai
perilaku yang brutal dan tidak masuk akal. Hal itu terjadi apabila konsep carok
dinilai dengan pandangan kebudayaan kelompok masyarakat lain yang beranggapan
bahwa menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan dianggap tidak masuk
akal dan tidak manusiawi. Namun, bagi masyarakat Madura, harga diri merupakan
konsep yang sakral dan harus selalu dijunjung tinggi dalam masyarakat. Oleh
karena itu, terjadi perbedaan penafsiran mengenai masalah carok antara
masyarakat Madura dan kelompok masyarakat lainnya karena tidak adanya pemahaman
atas konteks sosial budaya terjadinya perilaku carok tersebut dalam masyarakat
Madura. Contoh etnosentrisme dalam menilai secara negatif konteks sosial budaya
terjadinya perilaku carok dalam masyarakat Madura tersebut telah banyak
ditentang oleh para ahli ilmu sosial.
Contoh yang lain adalah kebiasaan memakai koteka bagi
masyarakat papua pedalaman. Jika dipandang dari sudut masyarakat yang bukan
warga papua pedalaman, memakai koteka mungkin adalah hal yang sangat memalukan.
Tapi oleh warga pedalaman papua, memakai koteka dianggap sebagai suatu
kewajaran, bahkan dianggap sebagai suatu kebanggan.
0 komentar:
Posting Komentar