Agama di Indonesia
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal
ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik,
ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk
Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan
3,4% kepercayaan lainnya.
Agama-agama mempunyai banyak kesamaan ketika berperan di tengah-tengah
hidup dan kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam rangka mensejahterakan
masyarakat, agama berperan agar terjadi perubahan sosial dengan harapan manusia
mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Semua peran itu, memang bisa
dilakukan secara sendiri-sendiri, namun alangkah baiknya jika semua agama bisa
melakukannya secara bersama.
Pada umumnya, umat beragama menyadari dan memahami bahwa TUHAN yang
menciptakan manusia. Ia memberi mandat kepada manusia untuk mengolah, menata,
merawat, dan memanfaatkan hasil ciptaan-Nya. Agama-agama juga menyadari bahwa, mandat
itu hanya bisa dilaksanakan dengan baik, jika dilakukan secara bersama, serta
semua kapasitas dan kemampuan manusia terus menerus ditingkatkan. Akan tetapi,
hal tersebut hanya sebatas pemahaman saja, dalam arti belum mencapai berbagai
tindakan konkrit pada tataran realitas masyarakat dalam hidup serta kehidupan
setiap hari.
Tantangan-tantangan umum
yang di hadapi umat beragama
Sebagian besar masyarakat atau penduduk Indonesia termasuk umat beragama
berada di wilayah pedesaan pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Papua, Timor,
dan lain-lain. Pada umumnya, masih banyak di antara mereka yang bergelut dengan
kurangnya pendidikan karena ketiadaan dana; sarana dan prasarana sosial,
ibadah, pendidikan yang terbatas; banyak yang dikategorikan sebagai keluarga
pra sejahtera dan tertinggal.
Namun, sebaliknya, masyarakat perkotaan, dalam banyak hal, lebih baik
keadaannya. Walaupun demikian, masyarakat di perkotaan pun masih mempunyai
berbagai ciri khas yang sekaligus berdampak pada pendekatan dalam pelayanan
agama-agama. Misalnya,
- kota-kota metropolitan misalnya Jakarta, Surabaya, Medan, dan lain-lain, dengan masyarakat multi etnis; tingkat ekonomoni-sosial yang beraneka ragam; adanya kaum miskin kota yang berdampingan dengan orang-orang kaya; mempunyai penduduk yang sarat dengan permasalahan; adanya kesenjangan yang cenderung memunculkan berbagai konflik sosial akibat dari hal-hal sepele; dan kadang-kadang pengaruh sisi gelap dari metropolitan tersebut merambah masuk ke dalam hidup dan kehidupan umat beragama
- kota-kota penyangga misalnya, Bekasi, Tangerang, Sidoarjo, Mojokerto, dan lain-lain]; penduduk dengan mobilitas yang cukup tinggi; banyak waktu mereka yang terbuang di jalan raya; hari-hari efektif mereka terisi dengan pergerakan pulang-pergi ke metropolitan di dekatnya untuk bekerja, sekolah, dan lain-lain
- kota-kota industri dan urban yang ramai serta padat karena adanya industri di sekitarnya misalnya Tenggarong, Balikpapan, Batam, dan lain-lain
- kota-kota relatif kecil namun penuh dinamika khas [misalnya Salatiga, banyak mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia dan dunia; Kediri, buruh pabrik rokok; Madiun, sebagai lintasan transportasi antara Jawa Timur dan Jawa Tengah; Cirebon, sebagai lintasan transportasi antara Jawa Tengah dan Jawa Barat; Magelang, anggota militer; dan lain-lain].
Karakteristik masyarakat dan umat beragama seperti itu, sebetulnya sekaligus
merupakan kekayaan dan tantangan bagi pemimpin-pemimpin keagamaan. Tiap-tiap
umat beragama mempunyai ciri khas, namun hampir semuanya mempunyai kesamaan
yang umum, yaitu anggota adalah orang dewasa dalam usia produktif; hampir
sebagian besar waktunya digunakan untuk sibuk bekerja atau mencari nafkah;
mempunyai mobilitas tinggi karena tuntutan profesi; mempunyai tanggung jawab
untuk menghidupi serta mensejahterahkan keluarga; dan lain sebagainya. Di
samping itu, umumnya ada semacam penyakit yang pada umat beragama
sehingga mereka kurang bahkan tidak mau berperan di/dalam kegiatan-kegiatan
agamawi, kecuali pada hari-hari raya keagamaan.
Di samping semuanya itu, pada era kemajuan teknologi dan komunikasi,
agaknya peran umat beragama, seharusnya tidak melulu tertuju pada orang-orang
seagama, melainkan menjangkau masyarakat di luar agamanya. Masyarakat yang
terus menerus mengalami proses globalisasi, menimbulkan transformasi komunikasi
dan informasi sehingga berdampak terhadap perubahan nilai-nilai sosial serta
budaya, dan lain-lain. Dan, ketika masyarakat [yang di dalamnya termasuk
anak-anak] berubah serta menerima nilai-nilai baru yang didapat akibat bebasnya
arus informasi.
Pada sikon itu, misalnya anak-anak yang mengalami pengaruh
bebasnya arus informasi, kemudian mereka menggunakannya untuk berhadapan dengan
orang tuanya, maka bisa saja akan muncul benturan-benturan serta
gesekan-gesekan. Benturan-benturan itu bisa juga akibat perbedaan persepsi di
antara keduanya; misalnya perbedaan menanggapi dan bersikap terhadap perubahan
dan perkembangan zaman. Dan jika orang tua tidak siap, tanpa wawasan yang luas,
kurang sigap mengamati dan memperhatikan perkembangan masyarakat, maka
benturan-benturan tersebut akan semakin menjadi suatu pertikaian yang tak henti;
pertikaian yang berujung pada retak dan renggangnya hubungan inter dan
antar anggota keluarga, serta orang tua dengan anak, dan lain sebagainya. Dan
tidak menutup kemungkinan, adanya pelarian sumber daya insani (terutama
angkatan muda yang berpendidikan dan dinamis serta kreatif) ke pelbagai agama
yang membuka kesempatan kepada mereka untuk berkreasi sesuai perkembangannya.
Oleh sebab itu, umat beragama perlu berbuat lebih banyak lagi karena
pada umumnya mereka mempunyai kemampuan untuk itu. Itu berarti membutuhkan
kemampuan penyesuaian dan mengatasi masalah serta dukungan lingkungan kondusif
untuk berkembangnya nilai-nilai sosial dan budaya yang tanggap terhadap
berbagai perubahan. Hal itu harus terjadi, karena adanya permasalahan sosial
di/dalam masyarakat konteks umat beragama berada. Misalnya, kekerasan dari
orang dewasa dan sosial terhadap masyarakat, terutama kepada wanita dan
anak-anak; kenakalan remaja di rumah, sekolah, lingkungan dan berbagai dampak
yang mengikutinya; penyalahgunaan obat-obatan; mudah mengikuti unsur-unsur
budaya asing dengan tanpa berpikir kritis yang ditampilkan melalui media
massa; premanisme serta pelbagai tindak kriminal; masalah seksual; masalah kaum
urban dan masyarakat miskin kota di daerah-daerah kumuh; benturan budaya
sebagai pendatang di kota metropolitan; ketidakmampuan ekonomi yang berimbas
pada faktor kesehatan dan pendidikan, dan lain lain.
Dalam konteks seperti itulah, umat beragama hadir dan ada. Dengan
demikian, mau tidak mau, umat beragama berperan dan harus terlibat serta
melibatkan diri untuk mengatasi hal-hal tersebut. Jika umat beragama hanya
mengfokuskan diri pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan ibadah rutin, maka
peran dan pelibatan diri tersebut tidak terlihat bahkan tak berdampak apa-apa pada
orang lain [termasuk tidak mampu melindungi anak-anaknya agar tidak terjerumus
dalam permasalahan sosial serta kriminal di/dalam masyarakat] serta masyarakat
luas.
Pada diri setiap umat beragama, seharusnya ada panggilan, tugas, tanggung
jawab untuk memperbaiki masyarakat dengan talenta dan kemampuan yang ada
padanya. Oleh sebab itu, perlu suatu perubahan pemikiran dalam rangka
meningkatkan peran keseluruhan umat beragama misalnya sebagai bagian dari
bangsa Indonesia, pada agamanya dan masyarakat. Dengan itu akan terjadi suatu
paduan kekuatan dan kemampuan dalam rangka membangun manusia dan masyarakat
yang sejahtera. Pada dasarnya ada banyak peran Agama dan umat beragama dalam
lingkup agamanya serta masyarakat seluas-luasnya.
Manusia beragama karena adanya alasan-alasan tertentu; dan ketika
seseorang mengikatkan dirinya pada institusi keagamaan, tersirat dari
dan dalam dirinya, bahwa ia harus mendapat keuntungan serta kepuasan dari
tindakannya itu. Ini berarti, agama sebagai suatu sistem ajaran harus membawa
perbaikan dan perubahan total pada manusia yang beragama atau umat. Jadi, agama
berperan untuk perubahan manusia; sebaliknya manusia pun dapat berubah karena
adanya agama; manusia bisa berubah karena kekuatan agama dan juga sebaliknya.
Oleh sebab itu, ada beberapa peran yang bisa dilakukan agama; bukan
berarti agama adalah pribadi yang bisa melakukan sesuatu; melainkan peran yang
dilakukan oleh institusi agama atau umat beragama, terutama mereka yang
berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin keagamaan. Pada dasarnya ada banyak peran
Agama dan umat beragama dalam lingkup agamanya serta pada masyarakat;
0 komentar:
Posting Komentar