Minggu, 01 Desember 2013

AGAMA DAN MASYARAKAT


Agama di Indonesia

     Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya.
     Agama-agama mempunyai banyak kesamaan ketika berperan di tengah-tengah hidup dan kehidupan masyarakat. Misalnya, dalam rangka mensejahterakan masyarakat, agama berperan agar terjadi perubahan sosial dengan harapan manusia mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Semua peran itu, memang bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, namun alangkah baiknya jika semua agama bisa melakukannya secara bersama.
     Pada umumnya, umat beragama menyadari dan memahami bahwa TUHAN yang menciptakan manusia. Ia memberi mandat kepada manusia untuk mengolah, menata, merawat, dan memanfaatkan hasil ciptaan-Nya. Agama-agama juga menyadari bahwa, mandat itu hanya bisa dilaksanakan dengan baik, jika dilakukan secara bersama, serta semua kapasitas dan kemampuan manusia terus menerus ditingkatkan. Akan tetapi, hal tersebut hanya sebatas pemahaman saja, dalam arti belum mencapai berbagai tindakan konkrit pada tataran realitas masyarakat dalam hidup serta kehidupan setiap hari.

Tantangan-tantangan umum yang di hadapi umat beragama

     Sebagian besar masyarakat atau penduduk Indonesia termasuk umat beragama berada di wilayah pedesaan pulau Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Papua, Timor, dan lain-lain. Pada umumnya, masih banyak di antara mereka yang bergelut dengan kurangnya pendidikan karena ketiadaan dana; sarana dan prasarana sosial, ibadah, pendidikan yang terbatas; banyak yang dikategorikan sebagai keluarga pra sejahtera dan tertinggal.
     Namun, sebaliknya, masyarakat perkotaan, dalam banyak hal, lebih baik keadaannya. Walaupun demikian, masyarakat di perkotaan pun masih mempunyai berbagai ciri khas yang sekaligus berdampak pada pendekatan dalam pelayanan agama-agama. Misalnya,
  1. kota-kota metropolitan misalnya Jakarta, Surabaya, Medan, dan lain-lain, dengan masyarakat multi etnis; tingkat ekonomoni-sosial yang beraneka ragam; adanya kaum miskin kota yang berdampingan dengan orang-orang kaya; mempunyai penduduk yang sarat dengan permasalahan; adanya kesenjangan yang cenderung memunculkan berbagai konflik sosial akibat dari hal-hal sepele; dan kadang-kadang pengaruh sisi gelap dari metropolitan tersebut merambah masuk ke dalam hidup dan kehidupan umat beragama
  2. kota-kota penyangga misalnya, Bekasi, Tangerang, Sidoarjo, Mojokerto, dan lain-lain]; penduduk dengan mobilitas yang cukup tinggi; banyak waktu mereka yang terbuang di jalan raya; hari-hari efektif mereka terisi dengan pergerakan pulang-pergi ke metropolitan di dekatnya untuk bekerja, sekolah, dan lain-lain
  3. kota-kota industri dan urban yang ramai serta padat karena adanya industri di sekitarnya misalnya Tenggarong, Balikpapan, Batam, dan lain-lain
  4. kota-kota relatif kecil namun penuh dinamika khas [misalnya Salatiga, banyak mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia dan dunia; Kediri, buruh pabrik rokok; Madiun, sebagai lintasan transportasi antara Jawa Timur dan Jawa Tengah; Cirebon, sebagai lintasan transportasi antara Jawa Tengah dan Jawa Barat; Magelang, anggota militer; dan lain-lain].
Karakteristik masyarakat dan umat beragama seperti itu, sebetulnya sekaligus merupakan kekayaan dan tantangan bagi pemimpin-pemimpin keagamaan. Tiap-tiap umat beragama mempunyai ciri khas, namun hampir semuanya mempunyai kesamaan yang umum, yaitu anggota adalah orang dewasa dalam usia produktif; hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk sibuk bekerja atau mencari nafkah; mempunyai mobilitas tinggi karena tuntutan profesi; mempunyai tanggung jawab untuk menghidupi serta mensejahterahkan keluarga; dan lain sebagainya. Di samping itu, umumnya ada semacam penyakit yang pada umat beragama sehingga mereka kurang bahkan tidak mau berperan di/dalam kegiatan-kegiatan agamawi, kecuali pada hari-hari raya keagamaan.

 Di samping semuanya itu, pada era kemajuan teknologi dan komunikasi, agaknya peran umat beragama, seharusnya tidak melulu tertuju pada orang-orang seagama, melainkan menjangkau masyarakat di luar agamanya. Masyarakat yang terus menerus mengalami proses globalisasi, menimbulkan transformasi komunikasi dan informasi sehingga berdampak terhadap perubahan nilai-nilai sosial serta budaya, dan lain-lain. Dan, ketika masyarakat [yang di dalamnya termasuk anak-anak] berubah serta menerima nilai-nilai baru yang didapat akibat bebasnya arus informasi.

Pada sikon itu, misalnya anak-anak yang mengalami pengaruh bebasnya arus informasi, kemudian mereka menggunakannya untuk berhadapan dengan orang tuanya, maka bisa saja akan muncul benturan-benturan serta gesekan-gesekan. Benturan-benturan itu bisa juga akibat perbedaan persepsi di antara keduanya; misalnya perbedaan menanggapi dan bersikap terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Dan jika orang tua tidak siap, tanpa wawasan yang luas, kurang sigap mengamati dan memperhatikan perkembangan masyarakat, maka benturan-benturan tersebut akan semakin menjadi suatu pertikaian yang tak henti; pertikaian yang berujung pada retak dan renggangnya hubungan inter dan antar anggota keluarga, serta orang tua dengan anak, dan lain sebagainya. Dan tidak menutup kemungkinan, adanya pelarian sumber daya insani (terutama angkatan muda yang berpendidikan dan dinamis serta kreatif) ke pelbagai agama yang membuka kesempatan kepada mereka untuk berkreasi sesuai perkembangannya.

 Oleh sebab itu, umat beragama perlu berbuat lebih banyak lagi karena pada umumnya mereka mempunyai kemampuan untuk itu. Itu berarti membutuhkan kemampuan penyesuaian dan mengatasi masalah serta dukungan lingkungan kondusif untuk berkembangnya nilai-nilai sosial dan budaya yang tanggap terhadap berbagai perubahan. Hal itu harus terjadi, karena adanya permasalahan sosial di/dalam masyarakat konteks umat beragama berada. Misalnya, kekerasan dari orang dewasa dan sosial terhadap masyarakat, terutama kepada wanita dan anak-anak; kenakalan remaja di rumah, sekolah, lingkungan dan berbagai dampak yang mengikutinya; penyalahgunaan obat-obatan; mudah mengikuti unsur-unsur budaya asing dengan tanpa berpikir kritis yang ditampilkan melalui media massa; premanisme serta pelbagai tindak kriminal; masalah seksual; masalah kaum urban dan masyarakat miskin kota di daerah-daerah kumuh; benturan budaya sebagai pendatang di kota metropolitan; ketidakmampuan ekonomi yang berimbas pada faktor kesehatan dan pendidikan, dan lain lain.

 Dalam konteks seperti itulah, umat beragama hadir dan ada. Dengan demikian, mau tidak mau, umat beragama berperan dan harus terlibat serta melibatkan diri untuk mengatasi hal-hal tersebut. Jika umat beragama hanya mengfokuskan diri pada hal-hal yang hanya berhubungan dengan ibadah rutin, maka peran dan pelibatan diri tersebut tidak terlihat bahkan tak berdampak apa-apa pada orang lain [termasuk tidak mampu melindungi anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam permasalahan sosial serta kriminal di/dalam masyarakat] serta masyarakat luas.

Pada diri setiap umat beragama, seharusnya ada panggilan, tugas, tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakat dengan talenta dan kemampuan yang ada padanya. Oleh sebab itu, perlu suatu perubahan pemikiran dalam rangka meningkatkan peran keseluruhan umat beragama misalnya sebagai bagian dari bangsa Indonesia, pada agamanya dan masyarakat. Dengan itu akan terjadi suatu paduan kekuatan dan kemampuan dalam rangka membangun manusia dan masyarakat yang sejahtera. Pada dasarnya ada banyak peran Agama dan umat beragama dalam lingkup agamanya serta masyarakat seluas-luasnya.

 Manusia beragama karena adanya alasan-alasan tertentu; dan ketika seseorang mengikatkan dirinya pada institusi keagamaan, tersirat dari dan dalam dirinya, bahwa ia harus mendapat keuntungan serta kepuasan dari tindakannya itu. Ini berarti, agama sebagai suatu sistem ajaran harus membawa perbaikan dan perubahan total pada manusia yang beragama atau umat. Jadi, agama berperan untuk perubahan manusia; sebaliknya manusia pun dapat berubah karena adanya agama; manusia bisa berubah karena kekuatan agama dan juga sebaliknya.
 Oleh sebab itu, ada beberapa peran yang bisa dilakukan agama; bukan berarti agama adalah pribadi yang bisa melakukan sesuatu; melainkan peran yang dilakukan oleh institusi agama atau umat beragama, terutama mereka yang berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin keagamaan. Pada dasarnya ada banyak peran Agama dan umat beragama dalam lingkup agamanya serta pada masyarakat;

0 komentar:

Posting Komentar