Alhamdulillah ini adalah tulisan terakhir saya dari buku ISD baiklah bab
terakhir adalah tentang Prasangka ,Diskriminasi dan Etnosentrisme . Prasangka
atau praduga merupakan adanya suatu pikiran atau sikap mengira-ngira terhadap suatu
kondisi dimana kita sendiri belum tahu persis kondisi yang sebenarnya. Suatu
prasangka memang tidak melulu pada hal negatif, ada juga prasangka positif
(kurang lebihnya tidak akan menimbulkan dampak negatif).
Namun, ketika prasangka buruk yang hadir pada diri kita, misalnya kita
berpikiran buruk tentang orang lain, segenap sikap kita terhadap orang lain itu
akan dituntun oleh prasangka itu. Dalam psikologi, ada yang disebut sebagai selective
perception. Manusia pada dasarnya mempersepsi dunia secara selektif, dan
itu sangat tergantung pada sikap yang kita bangun mengenai dunia. Sebagai
contoh, kalau kita memang sudah percaya bahwa Si A itu jahat, maka setiap kali
kita bertemu dengan Si A, kita akan cenderung memberi perhatian terhadap
hal-hal dalam diri orang itu yang akan mengukuhkan ketidaksukaan kita. Kita
mengabaikan hal-hal baik mengenai dirinya, bahkan ketika ada orang lain yang
menyatakan pendapat lain tentangnya.
Begitu kita berprasangka buruk, pikiran kita jadi terbiasa untuk bercuriga.
Akibatnya kita membebani pikiran kita dengan segenap kondisi buruk yang sangat
mungkin sebenarnya tidak begitu adanya. Kita menjadi orang yang terus khawatir,
yang terus membayangkan hal yang tidak-tidak. Jiwa kita menjadi tidak tenang,
dan itu akan tercermin dalam perilaku dan ekspresi kita.
Prasangka juga bisa menjadi sumber penyakit, jika prasangka tersebut
merupakan prasangka yang buruk. Pikiran buruk adalah seperti tumpukan sampah
dalam diri kita. Kalau dia dibiarkan menumpuk terus, dia akan menjadi sumber penyakit.
Dan dia hanya bisa dihilangkan kalau kita mau menyingkirkannya dari diri kita.
Sampah tidak hilang dengan sendirinya. Kita harus dengan sengaja membuangnya
jauh-jauh sehingga baunya pun tak tercium lagi oleh hidung kita. Pikiran buruk
berkodrat serupa. Ketika dia ada dalam pikiran kita, dia meracuni bagian-bagian
yang masih sehat dalam benak kita. Ketika itu dibiaran berkembang, dia bahkan
merusak bagian-bagian tubuh kita yang lain.
Sebagai contoh kecil saja, misalnya ketika pada suatu pagi, seorang kenalan
kita tidak tersenyum pada kita, itu tidak berarti dia membenci kita. Ada banyak
kemungkinan. Salah satunya, dia sedang mengalami persoalan sangat berat dalam
hidupnya, misalnya saja ada salah seorang anggota keluarganya divonis mengidap
penyakit serius, atau petugas kartu kredit memburunya, dan sebagainya. Atau
mungkin juga karena memang dia mendengar sesuatu yang buruk mengenai diri kita,
dan dia merasa tidak nyaman dengan itu.
Ada banyak kemungkinan. Tapi kalau kita kesal dan memusatkan perhatian pada
soal ‘dia membenci saya” maka rangkaian kejadian selanjutnya akan didikte oleh
sikap kita itu. Sebagai balasan, kita juga tidak tersenyum padanya. Kita mulai
mengingat-ingat sisi buruk orang itu. Akibat lebih lanjut, kita benar-benar
percaya bahwa dia tidak pantas menjadi teman kita. Ujung-ujungnya, pertemanan
hancur, padahal itu semua dimulai dengan kejadian sederhana yaitu “tidak
tersenyum”.
Prasangka juga seharusnya kita menempatkannya pada hal yang tepat. Hal
tersebut bisa kita pelajari dari soal pengemis. Misalnya, karena kita sering
mendengar tentang sindikat pengemis, kita menjadi berprasangka buruk tentang
semua pengemis. Maka ketika seorang pengemis cacat mendekati kita di perempatan
lampu merah, kita bukan sekadar menolak memberi tapi juga jelas-jelas
menunjukkan kesebalan kita dengan wajah bersungut-sungut. Padahal, selalu ada
kemungkinan bahwa orang itu benar-benar bagian dari kaum dhuafa yang diwajibkan
oleh Allah untuk kita menyantuninya. Keramahan kita hilang karena sebuah
prasangka.
Mulai saat ini, mudah-mudahan kita bisa lebih tepat menempatkan sebuah
prasangka. Kita pelajari seperti halnya dalam Al-Quran yang berulang kali
bicara soal buruknya bergunjing tentang orang lain. Dimana, kutukan dialamatkan
pada mereka yang sering berbicara tentang sesuatu yang mereka tidak memiliki
pengetahuan cukup mengenainya. Bahkan dalam hal perzinahan, Allah minta agar
hukuman “yang sangat berat” hanya bisa ditetapkan kalau memang ada “empat
saksi” yang melihat langsung. Penyebutan saksi di situ jelas menunjukkan betapa
rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi sebelum kita berhak menghakimi
seseorang yang disangka melakukan perilaku buruk. Manusia tidak berhak
menghukum seseorang hanya dengan prasangka.
Jika mencermati kisah diatas, kita dapat menyimpilkan bahwa berprasangka
buruk adalah sesuatu yang sering mengganggu kebahagiaan hidup manusia. Karena
prasangka, hidup seorang manusia bisa hancur. Karena prasangka, hubungan
antar-kawan yang semula sedemikian baik bisa berbalik arah. Karena berprasangka
pula, jiwa seseorang bisa berkelanjutan terbebani dengan kekhawatiran yang tak
perlu. Karena itu, tidak berlebihan bila para ahli kerap menyatakan bahwa
kebiasaan berprasangka harus diperangi karena efek negatifnya bisa terentang panjang.
Diskriminasi dalam berbagai
bentuk telah merambah ke berbagai bidang kehidupan bangsa dan dianggap sebagai
hal yang biasa dan wajar serta tidak menganggap bahwa hal tersebut merupakan
suatu bentuk diskriminasi.
Perlakuan diskriminatif tidak
disadari oleh subjek yang menerima perlakuan diskriminasi tersebut dan oleh
yang memperlakukan tindakan diskriminasi tersebut. Praktik diskriminasi
merupakan tindakan pembedaan untuk mendapatkan hak dan pelayanan kepada
masyarakat dengan didasarkan warna kulit, golongan, suku, etnis, agama, jenis
kelamin, dan sebagainya serta akan menjadi lebih luas cakupannya jika kita
mengacu kepada Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 1 ayat (3) UU tersebut
menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik, yang berakibat pengangguran,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi
manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang
lain.
Diskriminasi bahkan tampak terlihat jelas di negara besar dan multi ras
seperti U.S.A (amerika serikat). Disana diskriminasi yang terasa adalah
dirkriminasi warna kulit (sang kulit hitam dan putih). Banyak orang kulit hitam
yang tidak mendapatkan hak yang sama seperti orang kulit putih. Sebagai contoh,
di sekolah di amerika jika ada seorang anak kulit putih dan kulit hitam yang
bertanya, maka sang guru (kulit putih) hanya akan menjawab pertanyaan dari si
anak kulit putih. Seharusnya perbedaan yang ada jangan kita jadikan jurang
pembatas, melainkan kita jadikan pemersatu antar manusia. Karena di mata Tuhan
semua manusia itu sama, yang membedakan hanya amal baik perbuatannya.
Adanya prasangka, diskriminasi, dan etnosentrime dalam masyarakat tidak
harus menjadi suatu hal yang besar dalam masyarakat karena setiap masyarakat
memiliki daya pikir untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada di
wilayahnya. begitu juga dengan organisasi yang ada seperti PBB atau lainnya
yang diharapkan mampu menciptakan perdamaian dunia agar tidak terjadi
diskriminasi ataupun masalah lainnya.